Setiap pekerjaan atau karier yang bersifat
profersional sudah barang tentu memiliki seperangkat aturan atau pedoman
pelaksanaan yang lazim disebut dasar etika.Demikian konseling sebagai suatu
pekerjaan profersional juga memiliki dasar-dasar etika.Didalam pelaksanaan
konseling dasar etika tersebut selain merupakan rambu-rambu pelaksanaan juga
merupakan “Pemikat” bagi orang-orang yang terlibat, dalam hal ini konselor
sebagai pemberi layanan dan klien sebagai penerima layanan.Jadi dasar etika itu
mengandung unsur tanggung jawab, sikap Kemandirian dan Profesionalisme.
Pembahasan dasar-dasar etika konseling ini didasarkan
pada berbagai sumber separti “ The American Personal and Guidance Association” (Shertzet
and Stone, 1981: dan Comier dan Comier, 1985, serta Miller dan kawan-kawan,
1987. Kode etik petugas bimbingan Indonesia (dalam Andi Mappiare AT. 1992). Dan
masalah nilai (dalam Murno, dan
kawan-kawan, 1979)
Pada umumnya sumber-sumber tersebut membahas
berbagai aspek mengenai etika konseling itu, terutama aspek kesuksesan,
kerahasiaan, keputusan oleh klien sendiri dan aspek sosial-sosial budaya klien.
ASPEK-ASPEK ETIKA KONSELING
1. Kesukarelaan klien
Klien yang datang menemui konselor dapat
diklasifikasikan atas dua macam yaitu :
- Datang dengan kerelaan sendiri
- Datang dengan surat referal oleh wali kelas
atau guru bidang studi
2. Kerahasiaan klien
Keberhasilan klien berarti tidak membocorkan
keterangan yang telah diekspresikan oleh klien dalam hubungan konseling.
Dalam
hal kerahasiaan tersebut ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan (Munro dkk..1985). yaitu:
a. Klien sebaiknya dapat mengetahui
tentang bagaimana kedudukan sehubungan dengan kerahasiaan itu. Misalnya
pembahasan masalah-masalah tertentu yang selalu diadakan di antara personal yang
ada di sekolah, maka hal ini harus diberitahukan kepada klien;
b. Konselor hendaknya terlebih dahulu
minta izin dari klien jika dalam upaya bantuan yang diberikan oleh konselor itu
diperlukan konsultasi atau ahli tangan. Misalnya berkonsultasi dengan orangtua
dan ahli tangan kepada ahli lainnya;
c. Jika klien menghendaki agar
keterangan tertentu harus dirahasiakan, maka konselor haruslah menghargai permintaan
itu dengan sebaik-baiknya;
d. Seandainya kerahasiaan suatu
keterangan tidak lagi dapat dijamin karena adanya tuntutan hukum atau
pertimbangan-pertimbangan lain yang mungkin dapat membahayakan diri klien
maupun kepada orang lain, maka klien harus diberitahukan dengan segera;
e. Catatan keterangan-keterangan
tertentu yang sifatnya sangat pribadi sekali dan dirasakan sulit dijamin kerahasiaannya
oleh konselor, sebaiknya jangan diarsipkan atau hendaknya dimusnahkan apabila
hubungan konseling telah selesai atau dihentikan;
f. Apabila konselor diperbolehkan oleh
klien untuk mencatat keterangan-keterangan penting sewaktu berada dalam
hubungan konseling, maka konselor sebaiknya memperlihatkan catatan itu atau
mungkin dapat juga meminta klien menuliskan sendiri keterangan yang dimaksud.
Cara demikian akan memberi arti tersendiri bagi klien tentang makna kerahasiaan
itu;
3. Keputusan oleh klien sendiri
Pada dasarnya peran seorang konselor dalam
proses konseling adalah “pengarah” dan bukan ‘penentu” keputusan dari
parmasalahaan yang dialami oleh klien.
4. Aspek-aspek sosial budaya dan
nilai-nilai konselor dan klien
Dalam hubungan konseling, konselor dituntut
untuk sadar akan aspek-aspek sosial dan budaya dan nilai-nilai pihak klien.
Klien mungkin memiliki pengalaman-pengalaman sosial dan budaya yang sangat
berlainan dengan konselor. Jadi konselor hendaknya mempelajari ciri-ciri khas
budaya dan nilai-nilai dan kebiasaan klien mereka. Mengetahui lebih banyak
perbedaan sosial budaya dan nilai-nilai antara konselor dan klien merupakan hal
yang sangat vital bagi keefektifan hubungan konseling.
Dalam
hal sosial budaya dan nilai-nilai ini. Murno dkk (1979) dan Andi Mappiare
(1992) mengemukakan pedoman umum yang diharapkan membantu konselor
menanggulangi masalah tersebut :
a. Dalam menjalankan tugas, konselor
tidak mengadakan perbedaan-perbedaan atas dasar suku, bangsa, warna kulit,
kepercayaan atau status sosial-ekonomi.
b. Praktek etis menuntut kesadaran akan
perbedaan-perbedaan individu, etnis dan budaya. Tanpa pemahaman kelompok
kultural tempat konselor bekerja adalah dengan sendirinya tidak etis.
c. Setiap orang mempunyai hak unuk
menentukan arah mana yang diinginkannya.
d. Agar konselor tetap jujur pada
dirinya sendiri, konselor tidak dapat menanggalkan nilai-nilai sosial, moral,
dan spiritual yang dimilikinya. Konselor memang mempunyai hak untuk
menentukannya nilai mana yang akan dipakai atau ditanggalkan, tetapi ia harus
mengenal dirinya sendiri, mengenal nilai-nilai yang dimilikinya, dan mengikuti
nilai-nilai itu dengan jujur.
e. Tugas konselor ialah membantu klien
untuk dapat menggunakan akal sehatnya dalam mengenai nilai-nilai yang
dianutnya, mengambil keputusan, dan menetapkan identitasnya sendiri.
f. Anak muda biasanya sangat cepat
mengenali nilai-nilai yang lancung (palsu) dan menentang standar ganda yang
dianggap tidak tepat. Dalam hal ini peranan konselor adalah secara jujur
menanggapi apakah pendapat atau sikap mareka itu tepat atau tidak tanpa
menimbulkan bahwa konselor membela teman sejawat ataupun lembaga tempat ia
bekerja. Konselor hendaklah membantu mereka untuk dapat menyalurkan pendapat
atau sikap mereka itu melalui jalan yang sebaik-baiknya.
g. Konselor tidak boleh memaksa
nilai-nilai yang dianutnya kepada kliennya.
h. Konselor dalam kedudukannya tidak
menentukan sesuatu itu benar atau salah, tetapi memberikan dorongan agar klien
dapat menilai sendiri sikap-sikap, norma-norma, dan tindakan-tindakan secara
objektif.
i.
Banyak
klien yang mempunyai prasangka dan takut dihakimi bahwa dia itu benar atau
salah. Sebenarnya klien telah merasa berdosa karena melanggar kode moral diri
sendiri, keluarga, atau masyarakat. Tidaklah ada gunanya menghapus kenyataan
yang dirasakan oleh klien itu dengan menyerahkan agar klien tidak memandang
tingkah lakunya itu sebagai penyimpangan.
j.
Konselor
tidak melakukan konseling dalam keterasingan. Konseling merupakan salah satu
bentuk usaha sosial yang diharapkan dapat bekerja dalam ruang lingkup tata krama
dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
k. Andaikan diperkenankan untuk
memberikan penilaian benar atau salah, maka penilaian itu hendaknya lebih
diarahkan kepada tindakan-tindakan. Dan bukan kepada pribadi (orang) yang
bersangkutan. Persoalan nilai merupakan hal yang sangat pokok dalam konseling.
0 komentar:
:f ;;) :$ x(
:@ :~ ) :s (
Posting Komentar